Selasa, 27 November 2012

The Sleepy Town Shirakawa-go.







Jun 12, '08 2:28 PM
untuk semuanya



Menyimak posisi kota-kota besar/utama di pulau Honshu Jepang,
seperti Tokyo - Osaka - Kobe awalnya terasa agak aneh, karena
berada didekat pantai timur yang menghadap ke samudra lepas.
Padahal pantai barat-lah yang dekat dengan pantai benua Asia,
sehingga tentunya dari situ akan lebih mudah dalam berhubungan
dengan negara-negara di Asia seperti Korea, China atau Rusia.
Ternyata wilayah sisi timur pulau Honshu itu lebih disukai karena
disitu suhu lebih hangat ketimbang wilayah pantai barat.

Diantara pantai barat dan timur itu membujur The Japanese Alps.
Terbentuk dari Hida, Kiso dan Akaishi Mountain, pegunungan
tinggi dengan sepuluh puncak menjulang diatas 3000 meter itu
seakan menjadi tulang punggung pulau Honshu.
Tentu pegunungan dengan puncaknya yang indah diliputi salju
abadi ini banyak menarik pelancong, untuk itulah istri saya
merancang perjalanan yang melintas The Japanese Alps itu.
Rutenya membentuk huruf V terbalik, berawal dari Osaka yang
berada di pantai timur, melewati Kyoto dan mengunjungi kota2
di pegunungan seperti Gifu, Takayama, Matsumoto.
Sampai ke kota Kanazawa yang berada di tepi Laut Jepang, ini
berarti sudah tembus ke pantai barat pulau.
Selanjutnya balik melintasi pegunungan lagi menuju Mount Fuji,
untuk berakhir di Tokyo yang berada di sisi timur pulau.

Kamis pagi 3 April 2008, kami meninggalkan hotel Gifu Miyako,
untuk menuju Shirakawa-go, desa kuno unik yang sejak bulan
Desember 1995 masuk daftar Unesco's World Heritage.
Lokasi desa ini dulunya begitu terpencil karena berada jauh di
tengah pegunungan, dan baru dikenal dunia setelah Bruno Taut -
seorang arsitek Jerman berkunjung kesana pada tahun 1935.
Bruno Taut tertarik dengan bentuk rumah tradisional desa ini
yang disebut Gassho-zukuri ( =praying hands) karena bentuk
atap ilalangnya yang curam seakan posisi tangan berdoa.

Kini desa itu tidak lagi terpencil, telah dibuat jalan raya yang
mulus sehingga bus kami dengan mudah bisa mencapainya.
Dulu akses kesana sangat sulit apalagi saat cuaca buruk, tapi
justru keterasingan inilah yang membuat penduduk lokal bisa
mengembangkan dan menjaga keunikan kultur/budaya, serta
sistem sosial tradisinya.
Turun dari bus, langsung terasa betapa terpencilnya tempat itu,
posisinya berada didalam lembah yang diapit dua deret puncak
pegunungan bersalju, dan dialiri sungai lebar dangkal berbatu.

Suhu udara lumayan dingin, disana sini masih ada tumpukan
salju, kabarnya inilah salah satu tempat yang terburuk dalam
hal jatuhnya salju di Jepang, saat winter tebal salju disitu bisa
mencapai empat meter.

Kami kini berjalan meniti jembatan gantung, menyebrangi
ShoKawa River yang dangkal berbatu, pemandangan sungguh
cantik paduan antara puncak putih bersalju dengan ranting
coklat kering khas musim dingin.

Setiba disebrang, kami memasuki desa yang dipenuhi rumah
usia ratusan tahun yang bentuknya unik mirip bentuk tangan
dalam posisi berdoa.
Dibangun seluruhnya dari kayu, beratapkan ilalang dengan
kemiringan yang curam agar tidak rusak oleh beratnya salju,
atap tebal itu berguna pula sebagai insulasi cuaca dingin.
Rumah-rumah terlihat dalam posisi sama, menghadap kearah
yang sedikit kena pengaruh hembusan angin yang bertiup
keras dilembah sempit itu.
Disela-sela rumah terdapat lahan persawahan, yang saat
kami berjalan disana masih ada tumpukan salju.

Didalam atap rumah besar itu bisa terdapat banyak lantai,
bisa sampai lima, disitulah penghuninya ramai-ramai tinggal
kadang sampai 40 orang, dan didalam rumah itulah mereka
membiakkan ulat sutra.

Tahun 1924, sebenarnya masih ada 300 Gassho style-house,
belakangan menyusut akibat pembangunan dam di Shokawa
river, terbakar atau dipindah keluar desa, akibatnya pada
tahun 1961 hanya tersisa 191 buah saja.
Untunglah penduduk sadar akan krisis depopulasi ini, mereka
memperkuat kekerabatan diantara mereka, dan pada tahun
1971 mulai melakukan upaya menyelamatkan kekayaan
budaya yang sudah berusia ratusan tahun itu,

Slogan mereka adalah :
do not sell, do not rent, dan do not demolish.
Semua ini membuahkan hasil, rumah2 berasitektur unik itu
tetap utuh berdiri untuk diwariskan kepada generasi berikut,
sehingga UNESCO mendeklarasikan desa, kebudayaan dan
lingkungannya ini masuk dalam World Heritage Site.
Kini setiap tahun berdatanganlah sekitar 1,5 juta turis dari
seluruh penjuru Jepang, termasuk 100.000 orang turis asing
untuk melihat keunikan dan kecantikan The Sleeepy Town
Shirakawa-go - desa yang seakan asyik terlelap tidak hanyut
terbawa perubahan jaman.


tumpukan salju di tempat parkir bus
 1 Komentar 

kantor dekat tempat parkir
  

Shirakawa-go
  

foto Shirakawa-go jadoel
  

aneka peraturan
  

desa kuno disebrang sungai
  

kantor dilihat dari awal jembatan
 1 Komentar 

kini ada jalan raya yang mulus sekali
 Komentar 

Shokawa River, lebar dangkal berbatu
  

jembatan menuju desa kuno
  

jembatan gantung diatas Shokawa River
  

desa dikaki pegunungan
  

Shokawa River
  

Shokawa River
  

jembatan gantung cukup panjang
  

view kearah tempat parkir dan office
  

Shokawa River
  

Shokawa River
  

Shokawa River
  

tepian sungai
  

memasuki desa kuno
 Komentar 

rumah kuno
  

sawah masih bersalju
  

kuil dan salju
  

rumah Gassho style
  

Gassho style yg unik
 Komentar 

puncak gunung bersalju
  

arsitektur unik
  

atap tebal penahan dingin

Tidak ada komentar: