Rabu, 28 November 2012

Saungnya Adem, lauknya segala macam


Saungnya Adem, Lauknya Segala Macam.

Menu pelepas lapar ala Pondok Lauk

Tulisan Hendrika Yunapritta, dimuat di KONTAN –
Majalah Ekonomi & Bisnis, No:37 Tahun X 19 Juni 2006.


Pemilik Pondok Lauk menawarkan berbagai menu seafood dan masakan Indonesia.
Tapi, ia tidak sekedar menjual makanan, namun juga suasana yang adem di tengah keriuhan kota Tangerang.
Tidak sedikit orang yang enggan pergi ke kota Tangerang, kecuali ada urusan yang mendesak. Maklum saja, jalanan yang tidak begitu besar, salah satu sisinya penuh
oleh motor atau mobil parkir, sesak oleh angkot, dan macet tidak ketulungan,
adalah keseharian kota di barat Jakarta ini.
Belum lagi, sengatan matahari terasa terik menggigit kepala.
Wah, amit-amit.

Di seputar Pasar Anyar, situasinya tidak jauh berbeda.
Jalanan satu arah yang sempit, dilalui kendaraan lalu lalang.
Ada banyak tempat makan di daerah itu, salah satunya bernama Pondok Lauk.
Namanya cukup aneh. Dalam bahasa Indonesia, lauk adalah pengiring makan nasi.
Lauk merupakan sebutan untuk olahan tempe, tahu, daging, dan ikan.
Tapi, menurut Djadjang, sang pemilik kedai, di sini lauk berarti ikan.
“Itu bahasa Sunda”, kata lelaki berkacamata itu.

Saat kaki melangkah di area kedai, kita langsung disambut oleh dapur terbuka.
Di situ, berjajar aneka ikan dan bahan makanan dari laut lain, seperti kepiting dan
udang. Ikan serta udangnya diselimuti remukan es batu, untuk menjaga kesegaran. Biarpun begitu, umur persediaan seafood Pondok Lauk tidak sampai
berminggu-minggu. “Tiap hari, kami dapat kiriman dari nelayan di Tanjung Kait”,
tutur Dedy Miharja, saudara Djadjang yang mengepalai bagian dapur.

Sembari menanti pesanan datang, kita akan disuguhi segelas teh tawar dan
camilan berupa kerupuk kanji kecil.
Tradisi ini, kata Djadjang, sudah dilakukan sejak Pondok Lauk berdiri.
“Kerupuk untuk iseng saja, sembari menunggu”, ujarnya.
Djadjang sengaja memilih camilan kerupuk karena menurutnya,
penganan ini banyak disuka orang.

Ada beragam pilihan ikan dan udang, namun yang paling banyak dicari orang
adalah kangkung hotplate seafood, cumi bakar, cumi goreng tepung, serta kepiting
saus padang. Kangkung dalam tumisan ini masih terasa renyah, kendati dimasak
bersama saus seafood yang royal udang dan cumi.

Tidak memakai kepiting laut biasa

Sementara, rasa kepiting saus padangnya tidak terlalu pedas menyengat lidah.
Menurut Dedy, kepiting itu bukan didapat dari laut, melainkan dari peternak
tambak. Ukurannya memang tidak jumbo, tapi rasanya samasekali tidak berbeda
dengan kepiting biasa. “Saya paling anti memasak kepiting yang sudah teler”,
ujar Dedy. Lazimnya, umur kepiting segar cuma sehari, setelah itu, hewan laut
ini sudah teler dan kurang sedap dimasak.

Jangan salah, kendati namanya pondok ikan, di sini Djadjang bukan cuma
menjual olahan seafood semata.
“Supaya ada variasi, jadi menunya macam-macam”, tegasnya.
Misalnya saja, salah satu menu andalan mereka adalah ayam pecak.
Ini merupakan olahan ayam kampung yang dibakar bersama kuah bening
berasa asam manis.
Ayamnya menampakan jejak kehitaman, sementara potongan bawang merah
dan rempah lain menyelimuti tubuhnya.
“Resepnya dari teman yang kebetulan jago bikin ayam pecak”, kata Dedy
mengenai menu yang banderolnya Rp 19.000 untuk porsi separuh ayam ini.

Selain ayam, andalan Pondok Lauk adalah gurame bakar dan gurame goreng
kering. Gurame goreng keringnya berdaging gemuk, nikmat dicocol sambal terasi.
Sedangkan gurame bakar Pondok Lauk cocoknya berjodoh dengan sambal kecap
yang diantar bersama pesanan. Banderolnya Rp 6000 per ons.
Dua hari sekali, menurut Dedy, ia mendapatkan kiriman 100 kilogram gurame
hidup dari Jawa Tengah.

Menikmati menu serba ikan dan ayam, serta telinga dibelai gemericik tetes air
ke kolam, enaknya memang menggelontor makanan dengan es kelapa muda.
Kebetulan, itulah menu minuman yang banyak dipesan di sini.
Yakni, es kelapa muda gula merah. “Gulanya itu dari gula aren”, celetuk Dedy. Sementara, air kelapa yang mengiringi es, masih diimbuhi santan encer nan gurih.

Saban siang, menurut Djadjang, kedainya yang berkapasitas 200 kursi ini
dipadati karyawan yang makan siang.
“Ada yang datang berombongan”, ujarnya.
Sedangkan di malam hari, ia banyak menerima keluarga untuk makan malam.
Dalam hitungan Djadjang, sehari dia melayani sekitar 300 orang.

Nah, sebagai penutup santapan, pelayan Pondok Lauk akan mengantarkan
irisan buah gratis berupa pepaya, melon, dan semangka.

Ikan yang Overweight

Tahun ini, menurut Djadjang, pemilik Pondok Lauk, kedainya sudah berumur
limabelas tahun. Djadjang mendirikan Pondok Lauk pada tahun 1981.
Waktu itu, ia memilih mendirikan kedai masakan seafood karena terinspirasi
dari tempat makan di seputar Dadap.
Tujuannya, kata Djadjang, agar orang Tangerang tidak perlu jauh-jauh pergi
ke Dadap hanya untuk menyantap ikan. Selain itu, “Tempatnya juga harus
lebih bersih daripada di Dadap”, ujar Djadjang yang menanamkan investasi
sekitar Rp 100 juta untuk membikin Pondok Lauk.

Selama duabelas tahun, Djadjang bertahan dengan konsep restoran biasa,
sampai suatu saat ia ingin merombak penampilan Pondok Lauk.
“Soalnya, selain masalah taste dan service, orang mencari tempat makan
karena enviroment-nya beda”, katanya.
Djadjang lantas menggelontorkan dana untuk merenovasi sebagian kedainya.
Hasilnya adalah kolam ikan nan bening, beberapa saung, serta meja di open air.
Djadjang menggunakan jasa konsultan arsitek untuk membuat kolam serta
instalasi hujan buatan.
Jadi, sembari duduk di saung Pondok Lauk, telinga bakal dibelai tetes hujan
tiada henti.

Sedari awal ketika melakukan renovasi, menurut Djadjang, ia ingin agar
kolam ikannya selalu resik dan bening.
Toh, ikan di kolamnya juga tidak untuk dimasak, seperti lazimnya kedai lain
yang dilengkapi empang serta saung.
“Ikan mas ini enggak enak dimasak, karena tubuhnya lemak semua”,
celetuk Dedy Miharja, kepala dapur Pondok Lauk.

Namun, Djadjang juga menangkap kecenderungan pengunjung yang selalu
ingin memberi makan ikan. Maka, ia lantas menyediakan pakan ikan gratis
bagi para pengunjung. “Mulanya, ya orang masukin pepaya segala macam.
Tapi, begitu tahu ada makanan ikan gratis, mereka tidak seperti itu lagi”,
jelas Djadjang.

Makanan ikan gratis adalah berkah bagi pengunjung, terutama yang
membawa anak-anak kecil. Namun, akibatnya puluhan ikan di kolam
Djadjang mengalami kelebihan berat badan alias overweight.
“Selama diberi makan, ya mereka makan terus”, tutur Djadjang yang tidak
pernah menghitung jumlah ikan mas, ikan koi, dan lele yang ada di kolam
Pondok Lauk itu.

Pondok Lauk
Jl. Baharudin No. 34 A
Tangerang
Telp. 5522370-5524443

Tidak ada komentar: