Jumat, 30 November 2012

Kisah pak Jerry yang asyik.


Kebetulan beberes Multiply, ketemu lagi kisah lama tentang
pak Jerry yang kini menetap di Perth, ada dua buah :


Ini kejadiannya sekitar 5 tahun yang lalu.

Bulan lalu saat saya sedang ngadem di Lippo Supermall,
Handphone saya bunyi :
"Oom, ini Grace, saya mau ngundang Oom dan Tante nih.
Papa dan mama ulang tahun, kebetulan nanti balik dari
Perth, jadi kita mau adakan surprise birthday party pada
hari Minggu 6 Mei, di Restoran Yen Yen Kelapa Gading".

Grace ini putri dari Jerry & Nelly, teman asal Jakarta yang
sudah lama sekali menetap di Perth - saya pernah mampir
kerumahnya itu sekitar tahun 1999.
Whoa, kalo urusan ngerjain orang apalagi sambil dikasih
makan enak, siapa nolak!.

Minggu sore jam 17 saya sudah meluncur dari Mangga Dua,
ambil jalan Ancol menuju Tanjung Priok, rencananya akan
belok masuk ke Jakarta By Pass - eh malah keder jadinya!
Maklum sudah sekitar 30 tahun tidak lewat jalan itu.
Sempat kaget karena melihat ada perahu2 di muara sungai,
mengira salah arah maka balik lagi dan tau-tau nongolnya
malah di Sunter, dan lewat didekat rumah Jerry/Grace.

Sambil lewat itu iseng saja saya tilpon kerumah-nya, eh
pak Jerry sendiri yang angkat. (kebeneran banget nih !!)

"Yaaah, pak Jerry ada di Jakarta yah !!??, saya dalam
perjalanan ke Bandara nih, mau ke Singapore dua hari
disana dan trus ke Perth !!"
"Waduh, pak Sindhi - saya ada di Jakarta nih!, baru saja
sampai beberapa hari yang lalu!"
" Aduh sayang amat yah, saya padahal sudah rencana
mau mampir ke rumah pak Jerry, saya bersama adik nih
mau beli rumah di Perth, pak Jerry kapan balik ?, saya
tunggu dah di Perth ya".
" Wah nggak bisa, saya masih lama disini, tapi baguslah
kalau pak Sindhi mau beli rumah disana, cuma harga
rumah kabarnya sedang naik"
"OK dah, pak Jerry, saya sudah sampai di bandara nih,
lain waktu dah kita bisa jumpa2 lagi".
"OK pak Sindhi, wah sorry banget nih yah, selamat jalan".

Sekitar jam 18 saya sudah sampai di Restoran YenYen,
dan menuju ruang VIP dilantai tiga, disana sudah ada para
kerabat dekat Jerry & Nelly (adik2/kakak2nya) dan ke tiga
putrinya : Mercy yang tinggal di London, Selly yang
tinggal di Perth, dan tentunya juga Grace.
Rupanya Anak2nya mengajak makan malam, tapi putri2
dan cucu2 itu bilang jalan duluan, alasannya mau ke
mall dulu. Sedangkan Jerry&Nelly diatur menyusul untuk
tiba di restoran jam 19 diantar menantunya.

Saatnya tiba, lampu ruangan dimatikan, kami semua
berdiri dalam kegelapan, tegang memandangi pintu yang
sebentar lagi terbuka.
Lilin kue ulang tahun sudah dinyalakan dan petugas sound
system sudah siap pencet tombol lagu Happy Birthday.

Akhirnya pintu terbuka dan terlihat keduanya yang
tampak agak terkejut dan disorientasi karena ruangan
itu gelap tapi ramai teriakan dan tepuk tangan diiringi
lagu Happy Birthday.
Tampak muka Jerry penuh kebingungan, mereka lalu
memasuki ruangan dan lampu dinyalakan.
Ramailah gelak tawa dan semua berebut memberi jabat
tangan dan pelukan kasih, selintas Nelly sempat terlihat
cepat cepat mengusap air mata yang meleleh.

Setelah tiup lilin kue ulang tahun dilanjutkan doa syukur
dan makan malam bersama.

Pak Jerry sempat bilang, masuk usia 60 tahun saya jadi
lambat nih, sama sekali saya nggak ngeh nih, biasanya
saya selalu waspada lho, ini mah bener2 kena dikerjain.
Tadi waktu naik ke lantai tiga ini saya sempat ngomel,
mau makan malam aja ngapain susah2 naik tangga begini.
Pak Sindhi juga bener2 ngerjain nih, bilang ke Perth segala.

Saya bilang, pak Jerry sungguh bahagia, bisa punya anak
menantu yang begitu sayang sama ortu-nya, terbukti
mau kompak datang berkumpul dan ngerjain begini,he3.

Puji Tuhan! , sahutnya.



Ini kisah kedua, copy paste dari emailnya pak Jerry :

Pak Sindhi,

Seperti anda tahu, aku kembali ke Perth hari Minggu malam Senin
tgl. 25 /07/05 yang lalu.
Ternyata penerbangan dengan QANTAS ini membawa pengalaman
baru bagi kami ( istri & cucu 7 thn ).

Begini ceritanya :
Kami bertiga berangkat ke Cengkareng hari Minggu jam 10 malam,
seperti biasa check-in dll

Masuk ke kapal jam 00.35 (pagi) dan kapal take-off tepat jam 01.05
pagi.(jam 02.05 waktu Perth/WA).
Perjalanan akan menempuh jarak 4 jam terbang.
Dicabin kita ‘tidur2-ayam’ dan jam 03 kita dibagikan makanan
(makan sahur kali ya?),
dan apesnya kita berdua tidak dapat jatah makanan,
- entah pramugarinya lupa atau sengaja - aku dan istri jadi bengong aja.

Untung cucu sudah lebih awal dikirimin kids mill,
kebetulan istri juga ogah makan sahur, cucu juga tidur nyenyak,
aku dah yang ngembat kids mill-nya cucu.

Dengan perut agak ngambek karena kurang supplies-nya,
aku nonton film humor QANTAS dan mencoba untuk tidur.

Mungkin aku tidur selama 1 sampai 1½  jam aku bangun ketoilet untuk
 ‘buang hajat kecil’ dan melihat jam tanganku waktu sudah jam 06.05
(waktu Perth/WA), tapi pesawat masih terbang dengan kecepatan tinggi,
tanpa ada tanda2 mau mendarat -
juga tidak ada announcement dari si Pilot.
Aku sudah mulai waswas kemana kita dibawa terbang?.

Jam 06.25 baru si Pilot bekoar : karena fog pesawat tidak bisa mendarat.
Dalam pikiranku masa International Airport seperti Perth tidak ada
peralatan untuk menanggulangi hal tsb.

Jam 06.35 si Pilot bilang : pesawat akan balik lagi keutara menuju kota
EXMOUTH dan akan landing di Pangkalan Udara Militer /
AUSTRALIAN AIR FORCE.

Nah lu !!!  aku mikir lagi, ngapain kita dibawa keutara lagi dengan
jarak terbang 1½ jam dari Perth ?

Aku mulai curiga ketika diumumkan, kita semua harus turun dari pesawat
dan masuk keruang tunggu sampai ada pengumuman lebih lanjut.

Sampai di EXMOUTH jam 07.30 yang ternyata jauh dari pusat kota
dan di Airportnya jangan kata ‘restaurant’, kantin aja kaga ada,
(Aku rasa lebih besar airportnya kota Cirebon)
kami semua disuruh masuk diruang tunggu sebesar 10 M X  15 M.

Kami semua dilarang untuk keluar dari ruangan tersebut, dan didepan
pintu yang tertutup berdiri 2 orang polisi berseragam,
dan kami semua diberitahu harus menunggu 3 – 4 jam dengan alasan :
Mengisi ‘bensin’ pesawat yang sudah hampir habis.
Menunggu pilot baru yang akan datang dari Perth.
(pilot lama jam terbangnya habis)

Sesudah menunggu 2 jam minuman dingin mulai dibagikan, 2 jam
kemudian keluar jatah sandwich/roti bule untuk kita pangan rame-rame.

Sudah 4 jam tunggu punya tunggu belum ada tanda2 mau berangkat,
baru 2 jam kemudian (jam 13.30) baru kita disuruh masuk kepesawat
untuk take off.

Jam 15.10 kami mendarat di Perth dengan perasaan lega meskipun
badan lelah dan otak dipenuhi segala macam pertanyaan.

Belum terjawab pertanyaan-pertanyaan itu kami semua disuguhkan
‘pertunjukan’ berikut :

Biasanya setelah pesawat landing, dan pesawat menuju tempat
 ‘parkir’, dan tanda/sign seat-belt dipadamkan,.
Kita semua berdiri mau ambil tas/luggage yang diatas kepala kita,
lagi kejutan dari pilot yang tidak mengijinkan kita berdiri alias
harus duduk diam.

Dari luar, masuk 4 orang Police WA lengkap dengan senjatanya
dipinggang,  mengambil/menciduk seorang penumpang,
yang seatnya berjarak beberapa bangku dari tempat aku duduk.

Baru setelah 5 menit kami diijinkan untuk turun/keluar dari pesawat
dengan seribu-satu pertanyaan dibenakku.

Dengan demikian (jam terbang : 7 jam) +  (menunggu : 7 jam) +
(dari rumah-airport-rumah : 4 ½ ) ;
total jendral = 18 ½  jam (sampe dah ke LONDON)

Aku penasaran dan mencoba mencari informasi via teman di Perth,
jawaban dari teman yang bekerja di travel bureau :
ada issue dipesawat terbang kami ada TERRORIST.
Bujugbuneng………..

Pak Sindhi satu hal yang aku imani,
aku lupa sembahyang waktu berangkat dari Jakarta,  Amin.


J&N


Rabu, 28 November 2012

Stalheim - Norway. Summer 1995.

Stalheim - Norway


Setelah meninggalkan kota Bergen, kami menuju kekota
Stalheim dimana nantinya akan naik ferry menelusuri Sognefjord -
yang saking panjangnya dijuluki King of Fjord - 120 Km.

Sesampai di Stalheim, kami diajak memasuki sebuah hotel,
dan ternyata pemandangan dari halaman belakang hotel -
luar biasa cantiknya.
Kesatu sisi kami melihat dinding gunung yang hijau asri dengan
rumah2 penduduk yang damai sekali, sedangkan pandangan
kearah sisi yang lain adalah jurang yang spektakuler cantiknya.



Stalheim
 1 Komentar 

belakang hotel Stalheim
  

view kearah jurang d Stalheim
  

menelusuri Sognefjord dg ferry
  

view kota Bergen dari atas
  

James Bond Island.

James Bond Island - Phang Nga :

Dua puluh lima tahun yang lalu sebuah pulau kecil dipakai untuk
lokasi shooting film James Bond yang dibintangi Roger Moore,
berjudul The Man with the Golden Gun.
Sejak itulah pulau indah yang semula bernama Khao Ping Kan ,
menjadi tenar dan dijuluki James Bond Island.

Walau turis mengenal James Bond Island adanya di Phuket,
sebenarnya lokasinya bukanlah di pulau Phuket, tapi masuk
wilayah Phang Nga, yang berada di mainland Thailand,
sekitar 1,5 jam perjalanan darat dari Patong Beach kearah utara.

Saat meninggalkan pulau Phuket, bus melewati jembatan yang
panjangnya hanya 350 meter untuk tiba di wilayah Phang Nga
yang berada di mainland Thailand.

Phuket adalah sebuah pulau berukuran 48 kali 22 kilometer
yang unik - terputus dari benua Asia hanya oleh sebuah gap selebar
350 meter saja. Jadi pulau ini seakan-akan tetesan air yang mau lepas.
Kalau saja tidak terputus maka Phuket itu sebenarnya adalah sebuah
semenanjung yang menusuk laut Andaman.

Dan tidak lama kemudian kami sampai di sebuah dermaga kecil,
setelah memakai jaket pelampung, maka kami menaiki sebuah
longboat mesin beratap dengan kapasitas 30 orang -
kami duduk berdua-dua berdampingan.

Semula saya kira dermaga itu berada ditepian sungai karena airnya
berwarna hijau lumut menyeramkan, tapi ternyata sudah ditepi laut
yang dipenuhi hutan mangrove berupa pulau2 kecil yang bertebaran
disana sini.
Perahu kemudian berjalan cukup kencang diantara pulau2 tak
berpenghuni yang dipenuhi pohon mangrove/bakau.
Selama 20 menit perjalanan kami hanya melalui sela2 pulau yang
tidak enak dipandang itu, jarak antara pulau-pulau itu dari 10 meter
sampai 100 meter.

Walaupun merasa tegang, saya berusaha menahan diri untuk tidak
ngomong sama istri bahwa "apa iya engga ada buaya disini ?".
( belakangan ternyata istri saya juga punya fikiran yang sama).
Terasa tegang karena selain perahunya dari kayu, juga hanya sesekali
bertemu dengan perahu turis yang lain, padahal lihat kiri kanan hanya
pulau pulau penuh pohon bakau.

Akhirnya perahu meninggalkan kawasan hutan mangrove dan mulai
terlihat disana-sini dikejauhan pulau-pulau berupa bukit kecil yang
muncul mencuat dari permukaan air, selintas seperti di Halong Bay,
hanya disini bukitnya lebih besar (tapi tidak sebanyak Halong Bay).

Disebuah pulau yang agak besar ternyata ditengahnya ada gua yang
cukup besar sehingga perahu kami bisa molos melaluinya, saat
berada didalam gua terlihat banyak stalaktit diatap gua dan sempat
terkejut juga karena ada ular cukup besar yang melintas diair.

Dilaut yang sudah jauh dari pantai itu perahu berjalan makin ngebut
sehingga air sesekali masuk membasahi penumpang.

Setelah berjalan sekitar 15 menit, terlihat sebuah pulau tinggi besar
- Khao Panya, yang menjulang tinggi diatas air, dan ada sebuah
perkampungan nelayan yang nempel dipinggir pulau itu.
Setelah mendekat barulah terlihat jelas bahwa perkampungan yang
disebut Kampung Muslim itu tidak dibangun diatas pasir pantai tapi
dibangun diatas tonggak yang ditancapkan kedalam laut.
Tidak ada rumah yang bisa dibangun di pulau itu, karena pulau yang
berupa bukit berdinding curam itu sama sekali tidak mempunyai pantai.

Kami mendarat disalah satu bangunan besar berderet yang rupanya
restoran diatas laut yang bisa sekaligus menampung ratusan tamu.
Makanan sea foodnya sih biasa saja, tapi perasaan makan diatas laut
sambil melihat daratan dikejauhan tentu meninggalkan kesan tersendiri.

Setelah makan siang, kami diajak berkeliling melalui lorong perkam-
pungan yang penduduknya dari etnik Melayu, kalau kami tidak melihat
kekolong rumah tidak terasa bahwa kami berada diatas laut.
Memang sebagian besar dari puluhan rumah itu dibangun memakai
bahan sederhana seperti papan, tapi ada juga beberapa yang mem-
punyai dinding dari tembok bata/semen.
Ada sebuah sekolah yang terdiri dari beberapa kelas, dan ada lapangan
olahraga yang lantainya disemen, dan uniknya saya lihat rumah-rumah
itu mempunyai meteran air dan listrik.
Sebuah mesjid dengan kubah warna keemasan juga terdapat diper-
kampungan yang kabarnya dihuni sekitar 400 jiwa itu, mereka hidup
dari turisme dengan membuka restoran dan menjual souvenir.

Perjalanan dilanjutkan sekitar 15 menit dan sampailah di JamesBond
Island, yang terletak cukup jauh dari pantai Phang Nga itu.
Terlihat ada dua bukit/pulau agak besar yang berdekatan dan di selat
antara kedua pulau tampak muncul sebuah bukit kecil yang bentuknya
seperti kuku - unik dan cantik sekali, yang bernama Ko Tapu.
Bentuk yang unik itu terbentuk karena pulau batu kapur itu selama
sekian lama tergerus angin dan hempasan air laut.

Perahu bisa mendarat di pulau yang agak besar karena ada pantai yang
berpasir putih dan terlihat disitu sudah banyak pengunjung yang antri
berfoto dengan latar belakang Ko Tapu - pulau kecil yang cantik itu.
Kami bisa berkeliling pulau walau agak sulit karena naik turun tangga
yang ada sepanjang lereng bukit, dan juga bisa melihat stalaktit yang
terus meneteskan air.

Yang menakjubkan adalah bukit yang terbelah dua dari puncak sampai
kedasarnya, dinding bukit yang terbelah itu rata sekali seakan akan
sepotong keju dipotong dengan pisau yang tajam.
Bagian dinding yang terbelah itu dasarnya tergeser cukup jauh dari bukit
induknya, tapi bagian atasnya seakan menyender kebagian bukit asalnya.
Unik sekali dan pengunjung bisa lewat diantara belahan bukit itu dan
memasuki sebuah cave yang buntu.

Perjalanan pulang, kembali boat ngebut diatas air laut yang sedikit saja
berombak, lokasi laut yang berada di teluk yang terbentuk karena
adanya pulau Phuket, membuat laut disitu terlindung dari angin barat
Samudra Hindia - kabarnya dibulan November - Januari permukaan
laut bisa begitu tenang datar seperti meja saja.


Foto2 James Bond Island/KhaoPingKan :
1. Pulau kecil yang bentuknya sangat unik dan indah (Ko Tapu).
2. Longboat saat mendarat di pantai.
3. Pantai berpasir putih.
4. Stalaktit yang terus meneteskan air.
5. Bukit terbelah yang menakjubkan.

6. Peta Phuket - Phang Nga - Krabi.
Terlihat KhaoPingKan yang terletak di bagian utara sekali teluk dan
terhalang dari Indian Ocean oleh pulau Phuket -
mestinya tidak terkena hempasan langsung Tsunami, tapi selama
ini tidak ada berita apakah pulau itu dan juga Kampung Muslim
hancur kena Tsunami seperti halnya pantai barat Phuket dan
juga PhiPhi Island (yang terletak di Laut Andaman dan tidak
terhalang oleh pulau Phuket).


Ko Tapu - James Bond Island
 1 Komentar 

longboat mendarat di James Bond island
  

pantai landai
  

stalaktit besar meneteskan air
  

bukit terbelah seperti dipotong pisau
 1 Komentar 

KhaoPingKan island ada diatas teluk
  

Wulingyuan scenic area. Zhangjiajie

Huangshi Village - WuLingYuan Scenic Area :

Inilah kawasan wisata ternama yang merupakan highlight tour
kami di propinsi Hunan.
Dengan kota Zhang Jia Jie sebagai kota terbesar, kawasan wisata
WuLingYuan ini yang mempunyai 12 scenic area - di tahun 2002.
mampu menyedot 7 juta turis !!.

Di wilayah ini ada 400 hotel (20 berbintang) dengan 30.000 bed,
restoran dan ada 50 travel agencies - membuktikan tingginya daya
tarik dari wilayah yang juga masuk Unesco's World Heritage .

Sekitar jam 20.30 kami baru mendarat di airport Zhang Jia Jie,
karena sebelumnya pesawat delay lebih satu jam di airport Changsa -
tapi fihak airline cukup bertanggung jawab dengan memberikan
makanan dan minuman dalam kotak.
Setiba di dalam kota Zhang Jia Jie, langsung menuju restoran untuk
makan malam, lalu ramai2 menyebrang jalan masuk ke hotel.
Kami juga diberitahu untuk hati-hati kalau berjalan di pertokoan
dekat hotel - banyak pencopet katanya.
Wuah, katanya tempat wisata terkenal , koq kayak gini.

Hotel International tempat kami menginap - bintang 4 dan besar,
dan tampak lobbynya penuh tamu.
Tapi kami menjadi bengong karena diberitahu bahwa dari rencana
tiga malam menginap disitu ternyata jadinya hanya semalam saja,
karena esoknya kamar hotel akan dipergunakan pejabat RRC,
jadi kita esok pagi harus angkat koper pindah ke hotel lainnya.

Waduh !, tadinya udah terfikir bakal bisa relax ternyata kembali
harus repot bongkar pasang koper lagi.

Esok pagi kami sudah menuju bus dengan bersemangat karena hari
itu akan melihat pemandangan alam pegunungan yang dalam VCD
terlihat sangat indah seperti halnya di HuangShan.
Setelah berkendara sekitar satu jam sampailah di satu scenic area :
Huangshi Village.

Turun dari bus, berjalan kaki santai sekitar 15 menit untuk mencapai
terminal shuttle bus yang akan membawa kami ke stasiun cable car.
Pemandangan sekitar sudah menarik karena suasana pegunungan
yang bentuk gunungnya unik - tinggi langsing, asri hijau dimana mana.

Pengunjung juga kelihatan lumayan banyak, tapi saat antri masuk ke
stasiun cable car kami bisa langsung naik karena kebetulan sekali
saat itu rombongan turis lainnya belum datang.

Cable car-nya unik karena tidak saja tiap gondolanya bisa memuat
sekitar delapan orang berdiri, juga tiga buah gondola-nya sekaligus
disatukan nempel berjejer sama lain sehingga sekali jalan banyak
yang bisa diangkut.

Cable car naik dengan kecepatan 9 meter/detik, dan segera saja
tampak pemandangan yang aduhai - kami melayang didekat gunung -
gunung yang tinggi langsing dengan aneka bentuk yang indah.

Puncak gunung-gunung itu diberi nama yang cantik2 pula :
- Flying Cloud Cavern.
- Five Finger Peak.
- Goddess Scattering Flowers.
- Jade vase Peak.

Selintas mirip pemandangan di HuangShan, disana sini tampak
gunung batu curam dengan sedikit pohon tumbuh dari sela-sela
dinding gunung.
Hanya disini lebih banyak pohon besar,sedangkan di Huangshan
lebih banyak pohon ukuran bonsai.

Setelah tiba di stasiun atas pada ketinggian sekitar 1300 meter,
maka kami kini berada di scenery area seluas 16,5 Ha yang bisa
dijalani dengan menapaki 3878 steps, berkeliling sejauh 3000 meter.

Tentu kami tidak sanggup sejauh itu, bukan saja makan banyak
waktu juga sangat berat jalan harus turun naik gunung.
Melihat undakan tangganya saja sebagian besar peserta sudah
pada angkat tangan.
Kami cukupkan saja menuju ke satu menara pemandangan yang
dibangun diatas sebuah gunung - dari atas menara kami bisa melihat
keliling gunung dimana tampak berbagai puncak gunung yang unik
dan indah itu.

view dari salah satu gunung
  
puncak gunung yang curam spt HuangShan
  
dimana mana puncak yang curam
 1 Komentar 
tampak sekelompok orang diatas gunung
  
puncak yang cantik
  
sulit didaki
  
dikejauhan tpk stasiun bawah cable car
  
menara diatas gunung
 Komentar 
dekat gate WuLingYuan
  
sungai dekat stasiun bawah cable car
  

Marco Polo : Daki is the geneve of orient


Pesawat B737-400 China Eastern -
seperti biasanya penerbangan di China, penuh penumpang,
termasuk puluhan turis barat.
Dan dalam penerbangan selama 50 menit dari kota Kunming mengarah
ke kota yang terletak northwest propinsi Yunnan itu kami hanya dikasih
minum doang.


Kota Dali ( dibaca : Tali), adalah kota kuno sejak jaman dynasti Tang.
Penggemar cerita silat Sia Tiauw Eng Hiong tentu ingat nama beken
Tjioe Pek Thong - si nakal yang bikin skandal dengan istri kakaknya,
yaitu permasuri-nya Toan Hong Ya - raja Dali.

Kota berpenduduk 3 juta jiwa ini (1-2 % Muslim) berada diketinggian
1974 meter dan terletak ditepi danau Erhai yang luas sekali.
Mr.Su, local guide Dali yang menjemput kami bilang Singapura muat
kalau dimasukkan kedalam danau dengan panjang 40 km dan luas
250 Km2 itu.
Air dari Lake Erhai ini akan mengalir masuk ke sungai Mekong.

Dibelakang kota Dali ada Mt.CangShan, gunung setinggi 3500 meter -
puncaknya yang diselimuti salju abadi itu menambah indah kota Dali.

Paduan warna putih puncak bersalju Mt.Cangshan dengan warna hijau
clear crystal water Lake Erhai yang laksana emerald jade,
dan langit biru laksana sapphirine sky -
membuat Dali sangat indah.
Sampai-sampai Marco Polo mengatakan : Dali is the Geneve of Orient.

Pesawat mendarat di landasan yang terletak di punggung bukit gersang
dan tampak dikejauhan danau Erhai.
Sesampai diujung landasan pesawat berputar U-turn, lalu ber-taxi melalui
landasan tempat tadi mendarat.
Rupanya landasan pacu itu sekaligus berfungsi sebagai jalan menuju ke terminal airport dan pesawat berhenti persis dimuka gedung airport.

Udara mendung berkabut, dingin sekitar 13 derajat, dan melalui highway
kami menuju bagian baru kota Dali yang berjarak 15 kilometer.
Kami makan pagi dibagian baru kota yang memang didominasi gedung2
bertingkat, tapi Mr.Su memberitahu bahwa hotel kami - Asia Star Hotel
yang berbintang empat berada dibagian kota lama.

Ternyata hari itu cuaca kurang bersahabat, udara tidak saja dingin juga
turun hujan sehingga kami harus berpayung ria saat mengunjungi landmark
kota Dali yaitu Three Pagoda's Temple, pagoda kuno yang dibangun
dijaman dynasti Tang , berwarna kuning dan bentuknya unik karena
seakan-akan bersirip banyak.

Kami makan siang di March Market dan disuguhi makanan khas daerah
Yunnan yaitu bihun besar-besar yang mirip laksa beras Tangerang dengan
kuah kaldu yang terasa pas sekali dengan cuaca Dali yang diguyur hujan.

Acara dilanjutkan dengan kunjungan ke pusat kebudayaan suku Bai -
(dibaca : pai) suku terbesar di Dali.
Sesampainya disana kami langsung diantar masuk ke sebuah ruangan
dengan bangku2 dan meja2 mungil, sebuah panggung ada di depannya.

Acara yang disuguhkan berupa "three courses of tea", yaitu suguhan teh
yang khas dari suku Bai untuk menyambut tamu2 mereka, yang terdiri
dari 3 cangkir teh, yang pertama teh terasa pahit (bitter taste), yang ke-
dua dan paling enak karena terasa manis (sweet taste) dan terakhir
terasa tawar (after taste).
Acara minum teh tersebut disertai dengan pertunjukan tari-tarian khas
suku Bai dan acara wedding ceremony suku Bai yang cukup menarik
karena calon pengantin perempuan harus memakai kacamata hitam
sebelum resmi menjadi suami istri dan pakai acara dicubiti oleh sanak
saudara dan tetangga dari pihak pengantin laki-laki.

Selanjutnya kami menuju ke stasiun cable car yang akan membawa
kami naik ke lereng Mt.Cangshan.
Semula kami ragu-ragu karena walau memang hujan sudah reda tapi
hari sudah sore, tapi akhirnya kami sepakat jadi naik juga walau tetap
was-was karena kota Dali mempunyai julukan Kota Angin -
sering ada angin besar disini.

Saat itu sudah tak ada pengunjung lainnya, saat mau naik kami diberikan
jas hujan yang terbuat dari plastik tipis - lho koq pake jas hujan segala ? -
waduh ! ternyata cable car-nya bukan model tertutup.
Kami duduk berdua-dua seakan naik beca - tanpa atap dan kaki juga
cuma bertumpu pada sebatang besi saja.
Kami kembali dipesan untuk jangan sampai menjatuhkan barang-barang
berharga seperti tas atau kamera karena kalau jatuh akan susah dicari.

Sudah kepalang, kami naik saja dan ternyata kereta itu jalannya macam
nenek-nenek - pelan banget, mana udara dingin dan khawatir hujan lagi.
Waduh, udah jalannya lambat ternyata lereng gunung dibawah kaki kami
penuh batu nisan - rupanya komplek kuburan yang luas sekali.

Letak memunggungi gunung dengan menghadap sungai/danau dipercaya
sebagai letak HongSui yang paling bagus untuk rumah orang hidup maupun
bagi orang yang sudah mati - tapi buat kami yang sedang numpang lewat
lambat-lambat tergantung-gantung diatasnya tentu sungguh tidak nyaman.

Betul saja, naik dari ketinggian 1974 meter ke ketinggian 2500 meter itu
memang makan waktu lama sekali : 25 menit !
Di stasiun atas kami turun, lalu mengunjungi komplek temple yang tampak
sudah kuno sekali, dan memasuki anjungan untuk menikmati pemandangan
kearah kota Dali dan danau Erhai yang terlihat indah sekali.
Karena sudah sore maka kami tentu tidak berlama-lama disana, segera
turun lagi dan kembali numpang lewat diatas "pemukiman" abadi itu.

Kami masih sempat mengunjungi sisa kota tua Dali yang masih utuh yaitu
gerbang masuk ke kota lama yang disebut South Gate, yang memang
masih megah berdiri.
Memasuki gate itu kami kemudian melewati deretan rumah kuno yang
sekarang beralih fungsi jadi toko-toko souvenir yang begitu banyak dan
ramai dipenuhi turis.

Malam hari menginap di lantai enam/teratas Star Asia Hotel, lokasinya
dibagian kota lama yang dekat dengan South Gate.
Karena berada di ketinggian/lereng gunung maka view dari kamar hotel
kearah kota dan danau Erhai bagus sekali.
Lobby hotel luas sekali, spacenya 1680 square meter, tinggi sampai ke
lantai enam, dan reiling tangga/balkon-nya dibuat dari Dali woodcarving
yang penuh ukiran bagus sekali.
Tapi yang paling menarik adalah lukisan Guanyin-Buddha (the Goddess
of Mercy) yang dilukis di satu dinding lobby - besar sekali mulai dari
dinding lantai dua atrium lobby itu sampai mencapai lantai enam.

Makan malam berupa Chinese buffet di restoran yang luas dengan
pemandangan kearah puncak gunung Cangshan yang putih bersalju.
Dan saya bengong melihat makanan buffet yang berderet tersaji :
banyak macam sekali beraneka ragam, saya hitung roti ada 11 macam,
bapao ada 4 macam.
Malah masakan utama berupa nasi/sop/sayur/daging ada : 57 macam !!
Saya sampai tiga kali menghitung jumlah masakan itu, penasaran
apakah saya engga salah hitung saking banyaknya yang disajikan itu.
Masakannya juga banyak yang unik :
- crisp young cucumber
- sea weed
- deep fried local ginseng.

Melengkapi makan malam unik itu, terdengar suara musik tradisional
Dali yang dimainkan sekelompok pemain musik,
sungguh meninggalkan kesan yang mendalam bagi kami semua.


.

stasiun bawah cable car Mt.Cangshan
  
melayang diatas pemukiman abadi
  
view Dali & Lake Erhai dari Mt.Cangshan
  
three pagoda's temple dan Lake Erhai
  
three pagoda's temple
  
South Gate kota tua Dali
  
didalam South Gate
  
lukisan Guanyin-Buddha di lobby hotel