Pesawat Garuda Boeing 737-300 yang membawa kami ke Singapore,
sedianya jam 16.30 take-off, tapi delay setengah jam. Tentu tidak jadi soal karena waktu transit di Changi cukup lama, sebelum dengan Air France menuju Paris, dilanjutkan terbang lagi ke Casablanca Maroko. Ternyata keberangkatan Air France yang schedulenya jam 23.30 juga tertunda 25 menit, tapi tidak jadi soal juga karena kami sudah pasrah maklum bakal terbang marathon 13 jam, sejauh 10711 km. Pesawat Boeing 777-300, dengan konfigurasi kursinya 3 - 3 - 3 terisi penuh penumpang, sebelum take-off ternyata cabin di-sucihama dulu. Caranya, pramugari berjalan cepat dari depan kebelakang sambil kedua tangannya mengacungkan dua tabung kecil yang mengeluarkan spray antiseptik berupa asap putih yang tidak berbau. Makan malam dihidangkan jam 01 WIB, jadi makan sambil bingung ini makan malam apa makan pagi. Selesai makan, acara berikutnya tentu tidur. Lampu kabin digelapkan dan penumpang terlihat menarik selimut. Tapi walau sudah pakai penutup mata, dan kuping disumbat pakai semacam karet kenyal seukuran ujung jari kelingking tangan yang dibagikan oleh pramugari, tetap saja saya susah tidur. Aneka gaya sudah dicoba, mulai dari selonjoran - miring kekiri - miring kekanan sampai bersila, cuma tidak nyoba gaya telungkup kebelakang doang dah. Untunglah ada hiburan pelipur lara, tengah malam itu bisa menuju dapur untuk self service, ambil Indomie sampai Ice Cream, dan yang paling menolong adalah layar monitor dibagian belakang setiap kursi penumpang. Jadi tidak iseng bisa nonton macam2. Favorit saya adalah melihat program Airshow Moving Map, karena saya bisa mengikuti arah terbang dan posisi terakhir pesawat. Setelah melewati India, memasuki udara Afganistan, sekitar jam 06 WIB menyentuh Laut Kaspia, lalu terbang diatas kota Meched Iran pada ketinggian 9448 meter dengan kecepatan 877 km/jam. Kemudian melewati kota Baku - Tiblisi - dan Laut Hitam, lalu kota Yalta - Odessa - Krakov - Praha dan terakhir mendekati Paris. Saat mendarat di bandara Charles de Gaulle jam 06 waktu setempat atau jam 12 WIB, matahari belum terlihat. Sejam kemudian barulah matahari muncul, berarti kami sejak kemarin tidak kena sinar matahari selama 19 jam! Airport CDG besar, ada terminal lama disebut terminal 1, dan terminal 2 yang baru, terdiri dari terminal 2 A sampai 2 F. Tapi tidak seperti bandara Changi yang merupakan satu kesatuan, enam buah terminal 2 ini letaknya terpencar. Kami ternyata harus naik turun tangga dan antri tunggu bus yang membawa kami sampai dua kali pindah terminal . Padahal temperatur diluar itu 4 derajat, sungguh menyebalkan sudah dalam keadaan loyo masih harus kesana kemari itu. Ruang tunggu terminal 2 F yang minimalis sepi sekali pagi itu, beda sekali dengan terminal Changi yang semarak warna warni dan nyaman. Satu2nya tempat belanja yang buka cuma kios makanan, harga aqua botol 2,8 Euro dan kue donat kecil 2,3 Euro - melihat harganya saja langsung dompet terasa jadi kempis. Pesawat Airbus A-321 Air France tujuan Casablanca lengang karena tak banyak penumpangnya, setelah dua jam terbang maka dari arah samudra Atlantic pesawat mendarat di bandara. Casablanca - artinya Rumah Putih - kota ini menjadi tenar karena ada film box-office yang dibintangi Ingrid Bergman dan Humprey Bogart memakai nama kota ini sebagai judulnya. Airportnya tidak terlalu besar, agak suram dan kusam sehingga mengesankan umurnya sudah lama, saya sempat berfikir yah maklum saja deh ini kan Africa. Tapi saat bus kami meluncur dijalan raya yang menuju kota, kami semua terpana karena jalan dan rumah2nya begitu rapih dan bersih. Wah ini sih kayak di Eropa saja, cetus seorang teman rombongan kami yang hanya terdiri dari 15 orang saja itu. Memang rumah2nya tidak banyak yang baru atau modern, tapi terawat baik, dominan warna putih, jalan lebar2 tertata rapih. Trotoar tempat pejalan kaki cukup lebar dan sungguh bersih, udara juga nyaman 15 derajat C, jauh dari dugaan temperatur Africa yang panas menyengat. Kendaraan tidak sebanyak di Jakarta, kebanyakan merk Eropa, lalu lalang dengan santai dan terlihat mematuhi rambu lalulintas. Mr.Ahmed, local guide kami, seorang pria setengah baya yang memakai Jalabeh khas Maroko plus sorban, menjelaskan bahwa penjajahan Perancis selama sekian puluh tahun meninggalkan budaya serba nyantai. Kami lihat memang demikian, termasuk gaya duduk santai sambil ngopi di kursi ditrotoar depan cafe. Ahmed juga menjelaskan bahwa selain merupakan bangsa yang agamis, mereka juga sangat toleran akan banyak hal. Baik dalam kerukunan antar agama sampai suatu hal yang membuat kami jadi banyak bertanya yaitu adanya orang Yahudi disana, Ahmed sampai khusus menunjukkan lokasi Jewish School dan Sinagoga untuk menegaskan pernyataannya itu. Pertanyaan lain yang biasa diajukan kalau datang kesatu negara tentu antara lain soal kriminalitas, dijawab No Crime disini, yah kalau sesekali ada copet sih dimana mana ada katanya. Orang Maroko kalau minta visa Amerika, dikasih tidak tanggung- tanggung - berlaku sepuluh tahun! Hospital free, juga School : free sampai university pula . Harga bensin sekitar 10 ribu rupiah seliternya, sewaktu kami beritahu harga bensin di Indonesia, langsung Ahmed bilang kalau gitu nanti Maroko pasang pipa penyalur bensin dari Indonesia sampai ke Maroko. Terlihat semua orang berpakaian rapih bersih, prianya ada yang berpakaian modern ada yang tradisional. Wanita yang berpakaian barat maupun berkerudung terlihat sama banyaknya, dan sesekali terlihat ada yang bercadar. Tujuan pertama city tour kami adalah La Corniche Boulevard, ini adalah kawasan pantai elit yang penuh villa, swimming pool, hotel dan restauran. Pantainya landai agak melengkung, pasirnya bersih dihempas ombak samudra Atlantic. Kami memasuki satu hotel yang terletak dipantai itu, untuk makan siang di restoran dengan view yang indah kearah pantai. Untunglah tour leader kami sudah berpengalaman, sebelum keberangkatan dia sudah kasih bocoran soal masakan Maroko yang biasanya tidak cocok buat lidah Indonesia. Jadi begitu melihat makanan yang disajikan langsung keluarlah "kotak P3K" bawaan masing-masing, isinya Kecap/Sambal ABC, Abon, Bawang goreng udang kering, sampai PopMie segala. Set menu selama di Maroko, tidak jauh dari pola sebagai berikut : mula-mula datang aneka salad ukuran jumbo yang membuat seorang ibu bilang sama suaminya - bisa2 nanti kamu tumbuh tanduk makan segitu banyaknya sayuran. Lalu setelah menunggu sekian lama (perut bisa masuk angin saking lamanya nunggu), datanglah potongan kecil-kecil daging gorengan - dapatnya satu orang cuma satu potong doang. Nunggu sekian lama, keluarlah makanan utama berupa sepotong ayam atau ikan dalam piring besar isi kuah. Kemudian keluar buah2an dan finish. Selain grup kami ada satu grup lagi terdiri dari 25 orang Indonesia, yang kebetulan rute dan waktu perjalanannya persis sama dengan grup kami. Dibeberapa restoran kami bertemu, mereka ngomel ke tour leadernya karena melihat kami yang tetap ceria walau dapat menu kayak gitu. Mereka ngomel kenapa engga di warning dulu soal makanan ini sehingga mestinya bisa bawa "kotak P3K" juga. Selesai makan siang, kini bersiap mengunjungi Mesjid Hassan II - mesjid terbesar di Africa atau ketiga didunia, yang unik sekali karena dibangun ditepi laut. Dari kejauhan sudah terlihat menara-nya yang tingginya 210 meter. Mesjid megah dengan halaman yang luas itu arsiteknya orang Perancis, memakai kayu jenis Cedar Wood asal Maroko yang penuh ukiran khas Maroko. Kami boleh mendekat sampai ke pintu mesjid sehingga selintas bisa melihat bagian dalam mesjid yang luas sekali ditopang tiang2 marmer, kubah mesjid bisa dibuka secara electric. Didalam Mesjid seluas 20.000 m2 itu, 25.000 orang sekaligus bisa bersembahyang bersama, pria dilantai dasar, dan perempuan dilantai dua yang bisa muat sampai 5000 orang. Kunjungan berikut adalah Old Medina - Kota Tua, disitu terdapat pula istana raja. Raja Maroko mempunyai banyak sekali istana, ada disetiap kota, tapi sayang sekali dimanapun kami mengunjungi istana - hanya boleh sampai pintu gerbangnya saja. Para penjaga dari seragamnya terlihat terdiri dari setidaknya tiga kesatuan yang berbeda : Polisi, Tentara, Pasukan Kawal Raja bagian luar, dan juga ada pasukan Kawal Istana bagian dalam, yang siap berjaga di gerbang istana mencegah turis mendekat. Bangunan2 antik di Old Medina, banyak dengan gaya Art Deco, walaupun sudah tua masih bagus dan terjaga kelestariannya. Terlihat masih utuh dan bagus gedung2nya, sehingga sangat menyenangkan berjalan kaki dijalan yang diapit gedung2 tua itu. Memasuki kamar hotel Farah sudah masuk tanggal 14 Nopember 2004, dan saat melihat jam ternyata sudah jam 24.00 WIB. Lalu saya menyadari bahwa terakhir saya mandi adalah dirumah pada tanggal 13 Nopember jam 13.00 WIB - itu ....... 35 jam yang lalu ! - Aiyaaa !! |
Rabu, 28 November 2012
Menuju Casablanca - rumah putih di Africa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar